Gami Sandi:
Ilmu Wariga di Buleleng, Napas Waktu yang Tak Pernah Padam

23 Oktober 2025 | Gami Sandi: Ilmu Wariga di Buleleng, Napas Waktu yang Tak Pernah Padam


Singaraja, Humas - Di tengah kehidupan yang kian dikuasai algoritma, ketika kalender digital menggantikan almanak dan hari baik bisa dicari lewat sentuhan layar, masyarakat Bali tetap punya cara sendiri membaca waktu.

Di antara derasnya perubahan zaman, wariga, ilmu perhitungan hari baik dan buruk yang diwariskan turun-temurun, tetap menjadi pedoman yang menuntun langkah masyarakat Buleleng.

Wariga bukan sekadar hitungan hari atau kalender upacara. Ia adalah filosofi hidup, harmoni antara manusia dan semesta. Di Bali Utara, wariga hidup dalam napas keseharian baik itu dalam menentukan hari pernikahan, upacara yadnya, bahkan menanam benih dan sebagainya. Meski modernitas menuntut kecepatan, masyarakat masih percaya bahwa setiap waktu punya takdirnya sendiri.

“Wariga tidak punah, ia hanya bertransformasi,” tutur I Made Gami Sandi Untara, akademisi Institut Mpu Kuturan (IMK).

Sebagai seorang akademisi yang melakukan penelitian tentang Wariga, Gami mengamati bagaimana wariga kini menjelma ke dalam bentuk digital. Dari lontar menjadi aplikasi, dari perhitungan manual menjadi notifikasi di ponsel.

“Generasi muda sekarang tidak lagi melihat wariga sebagai sesuatu yang mistis. Mereka menganggapnya alat bantu kehidupan praktis dan efisien,” lanjutnya.

Namun di balik kemudahan itu, Gami Sandi menegaskan, ada sesuatu yang tak boleh hilang. Itu adalah nilai spiritual dan kesadaran kosmologis yang terkandung dalam wariga.

“Wariga bukan hanya soal mencari waktu baik. Ttapi tentang menyatukan diri dengan alam. Di sana ada doa, ada meditasi, ada rasa hormat pada keseimbangan hidup,” ucapnya.

Menurut Gami, di Buleleng, wariga tidak sekadar dipelajari, tapi dihidupi. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan wariga adalah alm. I Gede Marayana, seorang pakar kalender Bali yang dikenal luas sebagai pencetus diagram pengalantaka. Sebuah sistem visual untuk mempermudah membaca siklus pawukon dan penanggalan Bali.

Marayana, yang semasa hidupnya dikenal sebagai sosok bersahaja, mengabdikan sebagian besar waktunya untuk meneliti hubungan antara hitungan wariga dan dinamika kehidupan masyarakat agraris Bali.

“Beliau bukan hanya ahli kalender, tetapi juga seorang filsuf lokal yang memahami bahwa waktu adalah bagian dari harmoni semesta,” kenangnya.

Disisi lain, transformasi wariga ke dunia digital membawa tantangan sekaligus harapan baru. Beberapa pasraman di Buleleng kini mengajarkan wewaran dan pawukon melalui media audiovisual. Guru-guru muda membuat video edukatif tentang cara membaca saptawara dan pancawara di platform digital, menjangkau generasi yang lebih akrab dengan gawai daripada daun lontar.

“Ini bukan soal meninggalkan tradisi, tetapi melanjutkannya dengan cara baru. Kalau anak-anak muda dilibatkan dalam mendigitalkan wariga, mereka bukan hanya belajar teknologi, tapi juga menjaga warisan leluhur,” kata Gami.

Baginya, inilah wujud nyata dari tat twam asi, sebuah ajaran tentang aku adalah engkau. Wariga di era digital adalah cerminan bahwa teknologi dan tradisi bisa berdampingan, saling menguatkan, bukan meniadakan. Meski demikian, Ia mengingatkan agar semangat digitalisasi tidak menghapus kedalaman makna wariga.

“Kalau orang hanya tahu hari baik dari aplikasi tanpa tahu maknanya, wariga akan kehilangan rohnya,” ujarnya.

Ia menekankan, inti wariga bukan pada tabel dan angka, melainkan pada taksu atau sebuah energi spiritual yang menghubungkan manusia dengan alam dan waktu.

“Wariga mengajarkan keseimbangan. Ia mendidik kita untuk menghargai siklus, tahu kapan mulai dan kapan berhenti. Itu pelajaran hidup yang tidak bisa digantikan teknologi,” tegas Gami.

Kini, umumnya di Bali, suara gamelan di pura masih berpadu dengan bunyi notifikasi ponsel. Keduanya menandai waktu, dengan caranya masing-masing. Di sela keriuhan dan perkembangan dunia modern, wariga tetap menjadi napas yang mengingatkan masyarakat Bali bahwa hidup harus dijalani dengan harmoni, antara pikir dan rasa, antara manusia dan alam, antara masa lalu dan masa depan.

Dan di ruang kerja kecil di Kampus Mpu Kuturan, I Made Gami Sandi Untara masih menulis dan meneliti. Ia percaya, wariga akan terus hidup, selama ada orang yang mau membaca waktu dengan hati, bukan hanya dengan jari.

“Teknologi boleh berubah, tapi wariga akan tetap menjadi napas yang menghidupkan jiwa Bali,” tutupnya. (hms)