Menjaga Dharma Pengusadha
Saat Balian Jadi Penjaga Keseimbangan Alam dan Jiwa

7 Oktober 2025 | Menjaga Dharma Pengusadha
Saat Balian Jadi Penjaga Keseimbangan Alam dan Jiwa


Singaraja, Humas – Di tengah modernisasi dunia medis, masih banyak masyarakat Bali yang percaya pada penyembuhan tradisional lewat tangan seorang balian atau pengusadha. Dalam balutan doa, mantra, dan ramuan herbal, praktik pengobatan ini bukan sekadar mencari kesembuhan tubuh, melainkan juga menyentuh keseimbangan jiwa dan alam.

Di Bali khususnya, keberadaan balian tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Mereka hadir tidak hanya saat penyakit melanda, tetapi juga ketika seseorang merasa kehilangan arah spiritual. Balian diyakini sebagai perantara antara manusia dan kekuatan niskala (dunia yang tak kasat mata) yang menjaga harmoni kosmos.

Menurut akademisi Institut Mpu Kuturan (IMK), I Nyoman Ariyoga, M.Pd., pengusadha dalam tradisi Bali memadukan ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan etika kehidupan.

“Balian sejati bukan hanya penyembuh jasmani. Ia adalah penjaga keseimbangan antara sekala dan niskala, antara dunia nyata dan dunia spiritual. Ia bekerja dengan dharma, bukan sekadar keterampilan,” ujarnya.

Ariyoga menjelaskan, ajaran tentang pengusadha berakar dari berbagai lontar klasik seperti Usada Taru Pramana, Usada Tenung, dan Usada Rare. Dalam teks-teks tersebut, disebutkan bahwa penyembuhan tidak pernah lepas dari unsur kesucian dan ketulusan hati. Seorang balian harus memahami satya (kebenaran), sauca (kesucian), dan metri (welas asih) sebagai dasar pengabdiannya.

Namun, lontar juga memberikan peringatan keras bagi balian yang menyimpang dari jalan dharma. Dalam Lontar Sapatha Balian, disebutkan bahwa penyembuh yang menggunakan pengetahuannya untuk niat buruk akan kehilangan keseimbangan hidupnya.

“Lontar menegaskan, jika seorang balian bertindak karena keserakahan, maka kesaktiannya akan berbalik menjadi kutukan. Ia akan terjerat dalam kegelapan,” tegas Ariyoga.

Ia menilai pesan moral ini sangat relevan di masa kini, ketika praktik pengobatan tradisional kadang disalahgunakan demi keuntungan pribadi.

“Etika menjadi inti dari seorang pengusadha. Ilmu usada adalah titipan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, bukan alat untuk memperkaya diri. Karena itu, balian sejati bekerja dengan niat suci, sebagai wujud bakti kepada Tuhan dan kemanusiaan,” ujarnya.

Dalam pandangan Ariyoga, keberadaan balian adalah refleksi filosofi hidup masyarakat Bali yang menjunjung keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan yang dikenal juga dengan ajaran Tri Hita Karana. Ia menilai, tradisi pengusadha seharusnya tidak dipandang sebagai praktik kuno, tetapi sebagai warisan kearifan lokal yang menjaga keharmonisan kosmos.

“Dalam dunia modern, balian mengingatkan kita bahwa kesembuhan sejati tidak hanya datang dari obat, tetapi dari keseimbangan batin dan hubungan spiritual dengan alam,” tutup Ariyoga. (hms)