Prof Suwindia Bicara Humanisme Global di Forum Internasional
17 Juni 2025 | Prof Suwindia Bicara Humanisme Global di Forum Internasional
DENPASAR, HUMAS - Rektor Institut Mpu Kuturan, Prof. Dr. I Gede Suwindia, M.A., tampil sebagai
narasumber dalam forum internasional bergengsi bertajuk “The 2nd World Civilizations Harmony
Forum & 2025 HEHE Civilization Forum – Indonesia Sub-Forum”. Forum ini diselenggarakan oleh Yayasan
Prajna Harmonis, Wahid Foundation, dan China Confucius Research Institute, dengan tema “Dialog dan
Pertukaran tentang Keharmonisan Peradaban (A Dialogue and Exchange on Civilizational Harmony)”.
Dalam forum yang mempertemukan tokoh-tokoh pemikir lintas negara tersebut, Prof. Suwindia membawakan
makalah berjudul “Linked to Roots: Civilization and the Excavation of Local Wisdom in the Construction
of Global Humanism”. Paparannya mengangkat kajian mendalam tentang Tri Hita Karana dan Tattvam Asi dalam masyarakat
Hindu Bali serta implikasinya terhadap pembangunan nilai-nilai kemanusiaan universal.
“Rekonstruksi pengetahuan leluhur sangat penting untuk membangun fondasi humanisme global yang tidak
tercerabut dari akar budaya lokal,” ujar Prof. Suwindia dalam pemaparannya.
Ia menekankan bahwa nilai-nilai lokal bukan sekadar warisan, melainkan energi etik yang dapat menjawab tantangan disrupsi modern dan potensi amnesia budaya.
Sebagai contoh konkret, Suwindia menyebut tradisi Nyepi sebagai manifestasi ideologis
dari nilai-nilai inklusivitas dan harmoni spiritual. Selain itu, praktik hidup multikultural di Desa Pegayaman, seperti ngejot antarumat Hindu dan Muslim saat perayaan keagamaan, disebutnya sebagai bentuk nyata dari toleransi dan empati sosial berbasis kearifan lokal.
Gagasan yang diangkat Suwindia sejalan dengan arahan Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.,
yang menekankan pentingnya keseimbangan antara logos, etos, dan mitos dalam membentuk habitus sosial yang arif.
Menurut Menag, penguatan kurikulum cinta menjadi strategi penting dalam pendidikan karakter yang inklusif dan transformatif.
Lebih lanjut, Suwindia memperkenalkan pendekatan ekotiologis sebagai paradigma keberagamaan masa kini. “Ketaatan beragama tidak cukup
hanya bersifat simbolik atau normatif, tapi harus lebih aplikatif dalam menciptakan harmoni ekologis, sosial, dan spiritual,” tegasnya.
Ia menyatakan bahwa Tri Hita Karana bukan hanya konsep lokal, tetapi merupakan nilai yang memiliki daya jelajah global,
terutama dalam menghadapi krisis peradaban modern. “Nilai-nilai keagamaan harus menjadi energi etik yang hidup, menyatu dengan ruang,
waktu, dan sejarah manusia. Di sinilah Tri Hita Karana menemukan urgensinya dalam konteks global,” pungkas Suwindia. (hms)
