Wayang Kulit, Nafas Ritual di Bali Utara yang Terus Bertahan
3 Oktober 2025 | Wayang Kulit, Nafas Ritual di Bali Utara yang Terus Bertahan
Singaraja, Humas – Ketika malam sudah tiba, layar kelir didirikan. Cahaya lampu minyak menyoroti sosok-sosok kulit kerbau yang dipahat halus. Denting
gamelan mengiringi suara dalang yang mengumandangkan kakawin. Meski penonton tak seramai dahulu, suasana khidmat tetap terasa. Bagi masyarakat, pertunjukan
wayang kulit bukan sekadar tontonan, melainkan bagian sakral dari upacara yadnya.
Di Bali Utara, hampir setiap upacara keagamaan dari otonan, tiga bulanan, pernikahan, hingga ngaben, disertai dengan pementasan wayang kulit. Fungsi wayang disini
tidak hanya menghibur, tetapi juga diyakini sebagai sarana pangruwatan atau pelukatan, penyempurna sebuah upacara.
Akademisi Institut Mpu Kuturan, I Putu Ardiyasa, menegaskan bahwa keberadaan wayang kulit dalam ritual Hindu di Bali Utara masih sangat kuat.
“Wayang di sini bukan sekadar kesenian, melainkan media spiritual. Masyarakat percaya dalang memiliki kekuatan menyucikan, sehingga tirta pewayangan
yang dihasilkan dianggap mampu membersihkan leteh dalam diri,” ujarnya.
Namun, ada fenomena menarik. Jika dulu, khususnya pada era 1980-an, wayang kulit menjadi hiburan favorit yang ditonton masyarakat berduyun-duyun,
kini situasinya berubah. Banyak pertunjukan wayang hanya disaksikan keluarga inti atau orang tua. Generasi muda lebih akrab dengan layar gawai ketimbang layar kelir.
Ardiyasa menyebut kondisi ini sebagai tantangan baru. “Wayang sebagai ritual tetap hidup karena menjadi kewajiban dalam upacara. Tetapi sebagai seni pertunjukan murni,
peminatnya semakin sedikit. Dalang kini lebih sering tampil karena fungsi religius, bukan karena daya tarik tontonan,” katanya.
Meski begitu, keberlanjutan wayang justru terjaga berkat ikatan kuat dengan ritual. Pada beberapa Desa di kabupaten Buleleng, tradisi menghadirkan wayang
dalam upacara sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Masyarakat bahkan meyakini prosesi pelukatan oleh dalang sebagai momen penting dalam siklus hidup keagamaan mereka.
Bagi Ardiyasa, inilah bukti bahwa seni dan agama di Bali tidak bisa dipisahkan. “Wayang menjadi ruang dimana estetika dan religiusitas bertemu. Penonton mendapatkan pengalaman estetis melalui cerita dan dialog, sekaligus pengalaman
spiritual melalui prosesi pelukatan. Itulah kekuatan unik wayang di Bali Utara,” tuturnya.
Ke depan, ia menilai perlu ada strategi menjaga keberlanjutan wayang, terutama dengan memanfaatkan teknologi agar mampu menjangkau generasi muda.
Dokumentasi digital, kolaborasi lintas komunitas, hingga inovasi cerita dianggap penting, tanpa menghilangkan nilai sakral yang melekat.
“Wayang kulit di Bali Utara mungkin tak lagi gegap gempita seperti masa keemasannya. Tetapi sebagai nafas ritual, ia tetap hadir
setia menemani setiap upacara, menghubungkan manusia dengan leluhur, alam, dan Tuhan,” tutup Ardiyasa. (hms)
